Social Icons

blog

Rabu, 28 September 2016

SCIENCE AND RELIGION: MENDAMAIKAN SAINS DAN AGAMA





Some say there's no evidence for God but I say go outside and look at all the beauty and order. I can't see this world happening by chance.(@The_HelpfulHand):

 "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan dalam jiwa mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa itu adalah kebenaran sejati"(QS:41;53).
I tried to formulate the difference of evidence in science and religion, perhaps that is not a perfect formula below:

Evidence of the truth in science is known by trial and always in general, meaning experiment or observation can be re-examined or demonstrated.

While evidence of the truth in religion is specific and proven itself in line with experience of each person, and can be described by those who experience it.


Sains dan agama adalah dua hal yang sulit didamaikan. Dan perdebatan mengenai hubungan antara sains dan agama seringkali memancing timbulnya emosi yang berlebihan, sehingga diskusi menjadi tidak sehat.

Di pihak sains, hal-hal yang biasanya diungkap adalah menyangkut keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran di dalam agama yang mereka pandang tidak masuk akal, misalnya soal Nabi memiliki kemampuan membelah laut, Nabi naik "kendaraan" super cepat melebihi kecepatan cahaya, Nabi bisa berbicara kepada hewan, dan sebagainya.

Dan kebanyakan di pihak sains adalah orang-orang yang sangat cerdas, kritis, dan argumentasi yang dikemukakan sangat ilmiah dan mengagumkan, berbasis filsafat dari filsuf-filsuf dunia seperti: Karl Marx, Spinoza, Friedrich Nietzsche, J. Paul Sartre, dan sebagainya.

Pokok permasalahan yang mereka pertanyakan ialah, bahwa orang-orang di pihak agama cenderung kaku, doktriner, tidak terbuka atau tidak bisa menerima ide-ide baru, tidak mau berubah, tidak demokratis dan lain sebagainya.

Orang-orang di pihak sains tidak semuanya atheis, ada juga diantara mereka adalah pemeluk agama, atau orang-orang mengaku beriman yang "masih ragu-ragu". Mereka yang ragu-ragu ini kemudian banyak yang memilih "jalan tengah", yaitu faham agnostisisme. Intinya, jika seseorang bertanya apakah Tuhan ada? Mereka akan menjawab "Tidak tahu", artinya tidak menolak dan juga tidak menerima ide Tuhan ada.

Kebanyakan para ilmuwan dunia yang kokoh pada methode sains memilih jalan tengah ini. Sepertinya, atau patut diduga, mereka ini takut atau khawatir bahwa reputasi sebagai "Scientist" bisa berkurang. Yang jelas, Albert Einstein ketika baru pindah ke AS juga mengaku sebagai agnostisis, walaupun pengakuannya di kemudian hari berubah bukan agnotisis tapi mengaku "beriman" kepada Tuhan tapi bukan Tuhan Personal, melainkan Tuhan versi filsafatnya Spinoza (faham Deisme). Fisikawan dunia yang terkenal, Carl Sagan (alm) dan "muridnya" Stephen Hawking dikenal berfaham agnotisisme.

Di pihak orang-orang beragama/beriman, mereka cenderung mempertahankan keimanannya dengan argumentasi yang kebanyakan tidak ilmiah, doktrin "pokoknya", dan kebanyakan justru menampilkan "bukti-bukti" kebenaran ayat-ayat dengan menyebut teori-teori modern yang ada sekarang sudah tertulis di kitap suci, dan sebagainya. Mereka tidak sadar bahwa apa yang disampaikan itu justru berbahaya. Jika suatu saat teori-teori itu terbukti tidak benar, atau ada yang berhasil membuktikan teori-teori itu salah, apakah ayat-ayat yang dipakai justifikasi itu juga salah?


Mengapa mereka "memberontak"?

Istilah "memberontak" ini untuk menyebut mereka orang-orang cerdas, berpendidikan tinggi, ilmuwan (Scientist), yang aslinya berasal dari keluarga taat beragama. Bahkan ada diantara mereka, ayahnya adalah tokoh/pemimpin agama. Setelah ilmu pengetahuannya semakin luas dan dalam, dan dikenal sebagai ilmuwan, mereka justru berbalik arah "memusuhi" kepercayaan orang tuanya. Mengapa, apa sebabnya?

Salah satu alasan yang menjadi penyebabnya, bahwa mereka adalah orang-orang cerdas dan paham betul pokok-pokok dari ajaran agama. Namun mereka sangat kecewa melihat praktek kehidupan di masyarakat, yang jauh sekali dari moral beragama. Agama mengajarkan perbuatan baik, kebajikan, cinta kasih,damai,saling menghargai, dsbnya. Faktanya, perbuatan kejahatan, kekerasan, tindak sewenang-wenang, justru banyak dilakukan oleh orang yang dikenal atau mengaku beragama.

Mereka tidak bisa menerima kenyataan ini, dan menimpakan "kesalahan" kepada agama, bukan kesalahan kepada orang/pelakunya.


Sains dan Agama bisa berdamai.

Sains dan Agama bukanlah ke dua hal yang bertentangan, melainkan bisa berdamai dan saling melengkapi. Agama tanpa sains adalah buta, sains tanpa agama adalah pincang, kata Albert Einstein.

Pernyataan Einstein ini sangat menarik dan menunjukkan antara sains dengan agama ada hubungan erat yang tidak terpisahkan. Intinya, orang beragama memerlukan ilmu pengetahuan yang cukup agar dapat mengamalkan agamanya dengan baik. Sebaliknya, dengan menggunakan ilmu pengetahan saja tidak cukup dan akan pincang. Diperlukan semacam panduan berdasarkan jalan sesuai yang diajarkan dalam agama, agar sains itu benar-benar bemanfaat untuk kehidupan manusia.

Untuk lebih mengakrapkan antara sains dan agama, diperlukan kesamaan persepsi, bahwa antara ke dua hal itu ada kesamaannya, yaitu sama-sama suatu jenis ilmu pengetahuan. Namun diantara ke duanya juga ada perbedaan, pertama, bahwa sains yang dibingkai dalam bentuk konsep, hipotesis, dan teori, memerlukan uji coba atau eksperimen untuk menentukan kebenarannya. Setelah dilakukan uji coba - bukan hanya sekali bisa berkali-kali, dan hasilnya membuktikan kebenarannya, maka barulah sains itu dipercayai kebenarannya.

Ke dua, berbeda dengan agama, iman atau keimanan tidak memerlukan pembuktian terlebih dulu. Jika seseorang minta pembuktian terlebih dulu, maka namanya bukan keimanan. Oleh karenanya seorang ahli sains tidak bisa mengatakan bahwa seseorang yang beriman itu bodoh misalnya, karena mempercayai sesuatu yang belum dibuktikan seperti cara pembuktian dalam sains.


Faith does not need to prove. Percaya dulu, yakini dulu bahwa Tuhan itu ada. Yakini dulu bahwa Tuhan itu tidak jauh dari kita. Tuhan mempunyai sifat-sifat yang sempurna.Bila seseorang semakin kuat dan kokoh dalam keimanannya, bukan tidak mungkin suatu saat - dan atas kehendak Tuhan - Tuhan membuka tirai yang membatasi atau menyingkap 'hijab' terhadap hamba yang dimaksud. Bukti itu bersifat sangat pribadi, berbeda dengan bukti yang dilakukan dalam sains. Dan masing-masing orang memiliki pengalaman yg berbeda-beda, dan bagi orang yang bersangkutan dipandang atau diyakini sebagai bukti keberadaan Tuhan.


Perbedaan lainnya, 

Ayat-ayat di dalam Kitab suci tidak bisa dipahami secara hurufiah seperti layaknya membaca buku sains. Jika seseorang mencoba mengartikan ayat-ayat seperti kalimat-kalimat dalam sains, tentu saja tidak bisa ketemu atau terlihat seperti tidak masuk akal. Istilah tidak masuk akal, itu tepat sekali bagi orang yg akalnya belum sampai atau belum bisa menerima. Biarpun dipaksakan dg cara apapun juga, akan "dimuntahkan". Sama seperti gelas yang sudah penuh, tentu tidak bisa diisi lagi. Tetapi tidak bagi pribadi yang akalnya sudah sampai . "Akal sudah sampai" dalam filsafat dikenal sebagai "Akal Tinggi" atau "Akal yang tercerahkan oleh cahayaNya".



Perbedaan Bukti atau Evidence

Dengan adanya perbedaan antara Sains dan Agama, logikanya akan ada perbedaan pula menyangkut Bukti atau Evidence.

Saya mencoba merumuskan perbedaaan bukti atau evidence dalam sains dan agama, mungkin rumusannya belum sempurna di bawah ini:

Bukti tentang kebenaran dalam sains diketahui berdasarkan percobaan dan bersifat umum, maksudnya percobaan atau pengamatan bisa diuji-ulang atau didemonstrasikan.

Sedangkan bukti tentang kebenaran dalam agama bersifat khusus dan terbukti dengan sendirinya sesuai pengalaman masing-masing orang, dan bisa dijelaskan oleh mereka yang mengalaminya.


Semoga bermanfat.







Share


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates